AISYAH
DI ZAMANKU
Ku
sebut Ia Aisyah di zamanku. Tonggak perjuangan muslimah berhati pelangi ini
diawali ketika ayahnya wafat. Siang itu, terik matahari tepat diatas kepala,
menembus kudung hitam Aisyah, rupanya saat itu Allah sedang melemparkan setetes
api neraka ke bumi. Tetapi semua itu tidak menyurutkan semangat Aisyah untuk
bertemu sang ayah yang selalu mengecup keningnya sepulang sekolah sembari
mengatakan “anak sholehah kebanggaan ayah”. Aisyah terus berjalan menginjaki
bayangan kepala mungilnya di sepanjang jalan setapak menuju surganya, rumah
bambu yang penuh dengan tawa. Di penghujung jalan setapak tempat Aisyah berdiri
tegak, menghusap keringat di hidungnya, akan terlihat dari kejauhan lelaki
hebat melambaikan tangan dengan senyuman dan keceriaan menyambut bidadari
kecilnya. Tetapi kali ini berbeda, tampak dari kejauhan seorang perempuan
tersenyum lebar melambaikan tanganya. Iya, dia adalah ibunda Aisyah. Bunda yang
tak kalah luar biasa dari ayahnya, kecupan manis di tiga sisi wajah Aisyah
“anak sholehah kebanggaan bunda”. “Ayah
dimana bun ?” Aisyah bertanya dengan keceriaan yang menutupi letihnya, “ayah
pagi ini berlayar, ayah titip salam maaf, karena hari ini ayah tidak bisa
menunggu bidadari kecilnya pulang sekolah” kata bunda menyertakan colekan di
hidung Aisyah. Aisyah tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Sore
itu, as-syams pulang lebih awal, setelah
seharian penuh menyinari jagat raya, gelap menutupi atmosfer bumi. Gumpalan
awan pekat bergerak cepat melintasi atap surga mereka. Kegelisahan, ketakutan,
dan rasa khawatir mulai menekan jiwa yang tenang. “Bunda, kenapa ayah belum
pulang ?” Tanya Aisyah. Bunda berusaha lebih tenang di hadapan Aisyah
“Ayah lagi di jalan sayang, ayah pasti
pulang menemui bidadari kecilnya”.Tidak henti-hentinya Bunda mengucap kalimat tasbih berharap Aisyah
merasa lebih tenang “SubhanaAllah Walhamdulillah Walaailahaillallah
Wallahuakbar”. Tampak dari kejauhan segerombolan orang berseru seolah membalas
seruan bunda Aisyah “Laailahaillallah, laailahaillallah, laailahaillallaaah”
suara itu terdengar semakin dekat, dekat, dan lebih dekat. Aisyah berusaha
menatap kejauhan, mata mungilnya tidak mampu menembus kepekatan awan. Aisyah
berlari, disusul bunda “Aisyah… ! Aisyah ….! Tunggu bunda”. Seorang laki-laki
paruh baya menangkap Aisyah kepangkuanya, dialah kerabat dekat ayah Aisyah. “Pak
le, ayah Aisyah dimana ?”, tidak ada suara sepatah lidahpun yang keluar dari
mulut Pak le, pelukan erat dan dengusan tangis rupanya telah memberi jawaban.
Bentangan tubuh kaku, lagi pucat itu dimasukkan kedalam rumah Aisyah. Iya, itu
adalah Jenazah ayah Aisyah. “Ayah, buka mata ayah, Aisyah mohon ayah bangun,
Aisyah dan bunda tidak akan mampu berjalan tanpa ada ayah dibelakang Aisyah,
dan ayah sangat tahu itu, ayaaah,,, bangun! Bunda, kenapa Allah jahat pada bunda
dan Aisyah ? Kenapa bun ?” seruak tangis Aisyah. Bunda terus memeluk dekap
Aisyah sembari berkata dengan bijak “Anak sholehah kebanggaan bunda, suatu saat
engkau akan tahu rahasia dibalik semua ini, engkau akan tahu betapa baiknya
Allah atas hidupmu, Allah telah merencanakan sesuatu yang lebih indah dari
sekedar rencana yang Aisyah buat bersama ayah, bunda sayang Aisyah, bunda akan
selalu bersama Aisyah”. Ombak sore itu
menjadi saksi perjuangan ayah Aisyah menyelamatkan saudaranya. Kini bunda akan
memulai perjuanganya sendiri untuk Aisyah dan calon adik Aisyah.
Tiga
tahun setelah kepergian ayah, sekarang telah hadir lelaki pengganti ayah, yang
baru berusia dua setengah tahun, yang kelak akan menjadi imam dirumah bambu
mereka. Aisyah kini sudah di bangku kelas 3 Madrasah. Prestasi di setiap ajang
bisa Aisyah raih. Aisyah menjadi lulusan terbaik di Madrasahnya. Jatuh bangun,
lika liku kehidupan telah Aisyah alami. Bunda Aisyah menjadi pedagang ikan
keliling semenjak ayah tiada. Di setiap sepertiga malam lampu lentera sudah
menyala di dinding rumah mereka. Bunda dan Aisyah selalu menyempatkan diri
bersujud mengadu segala sesuatu yang terjadi di sepanjang hari mereka. Suatu
keajaiban yang mereka rasakan ketika berbisik ke bumi lalu langit yang
mendengarkan “Masyaallah”. Selain itu, Aisyah selalu memanfaatkan waktu yang luar
biasa dahsyat keutamaanya dan terdapat dalam firman Allah ini untuk berpacu,
menekuni ilmunya, belajar ditemani Bunda yang pada dasarnya bunda Aisyah tidak
mengerti apa-apa tentang pelajaran. Bunda Aisyah buta huruf tapi beliau mampu
mendidik Aisyah menjadi perempuan yang luar biasa. Bunda yang bermodalkan
keimanan, ketakwaan, dan yang pastinya kasih sayang ini telah membuktikan bahwasanya Kebesaran
Allah ada dimana-mana. Setiap menjelang pagi seusai sholat subuh, bunda sudah siap-siap
untuk keliling jualan ikan, dan pastinya Aisyah selalu ikut bunda, Madrasah
Aisyah searah dengan kampung yang sering bunda kunjungi. Aisyah selalu menjadi
siswa pertama yang datang ke Madrasah, bahkan Aisyah sudah ada di Madrasah
sebelum petugas security yang membuka gerbang Madrasah datang. Ketika gerbang
sudah terbuka Aisyah secepatnya berlari menuju ruangan kelasnya, menempatkan
tas dengan baik dan mengeluarkan kantong plastik berukuran tanggung dari
sakunya. Aisyah mulai berkeliling untuk mengambil sampah-sampah plastik yang
ada di bak sampah setiap kelas. Aisyah melihat plastik-plastik itu
seperti uang yang berserakan,yang harus di ambil segera, dengan semangatnya
Aisyah memgambil sampah demi sampah. Semua itu dilakukan rutin oleh Aisyah selama
3 tahun di Madrasah. Sepulang sekolah Aisyah selalu mampir di Bank untuk
menyetorkan tabungan sampahnya setiap hari. Iya, di Bank Sampah. Aisyah melakukan ini karena
tekadnya yang kuat ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggis di
sekolah yang lebih berkualitas, Aisyah sudah punya modal ilmu agama, akidah,
dan akhlak semasa Ia di Madrasah. Aisyah berharap Ia mampu mendalami ilmu-ilmu
lain yang dapat menopang masa depanya,
adiknya, anak-anak di kampungnya, dan yang pastinya Bunda yang selalu ada di
setiap dengusan nafasnya.
Pagi
itu, Aisyah menemukan sebuah koran diatas meja guru di kelasnya. Salah satu
berita yang ada di koran tersebut menyatakan tentang suatu sekolah yang kerap
tiap tahun mendapatkan juara umum disetiap ajang Olimpiade Science Nasional.
Sejak itu, Aisyah berharap Ia mampu untuk melanjutkan pendidikan di sekolah
tersebut. Seringkali Aisyah melakukan konsultasi kepada gurunya mengenai
keinginanya. Akan tetapi tidak ada satu guru pun yang memberikan dukungan
kepada Aisyah dengan pertimbangan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah katolik
atau biasa disebut SMA K. Otomatis lingkungan disekolah tersebut akan sangat
jauh berbeda dengan lingkunganya ketika Ia di Madrasah. SMA K memberikan
kebebasan dari pemeluk agama manapun yang ingin menjadi bagiannya. Termasuk Aisyah sendiri. Aisyah tahu bahwa itu
merupakan pilihan yang berat. Lanjut dengan tekad yang kuat adalah pilihanya.
Pilihanya itu bukan semata-mata mengikuti keinginanya melainkan keyakinanya bahwa
Allah telah meridhoi langkahnya. Setiap malam Aisyah mengadu bersujud kepada
Sang Khalik melalui Istikharahnya.
Setiap keputusan yang Aisyah ambil dalam hidupnya adalah atas izin-Nya dan atas
do’a bundanya, Aisyah sangat yakin itu “Bismillahi tawakkal tu alallah”.
Bersama tekad yang kuat setelah ujian nasional Aisyah mendaftar di SMA K,
dengan melakukan beberapa tes yaitu tes tulis, psikotest, dan tes wawancara.
Sudah dapat dibayangkan bagaimana persaingan yang akan dialami setelah melihat
beberapa tes yang akan Ia jalani. Tapi, semua itu tidak mempengaruhi niatnya,
malah dengan itu, lebih memicu
semangatnya untuk terus belajar dan menggapai harapan-harapanya. Selang
beberapa hari setelah menjalani berbagai rangkian tes, atas izin Allah, Aisyah
diterima di SMA K.
Di sekolah baru, bersama orang-orang baru, dan
di lingkungan baru Aisyah akan mengukir langkah-langkah unik kakinya bersama
goresan nasib di tanganya berpacu bersama mimpi-mimpinya. Aisyah tetap Aisyah
si anak desa, si anak pedagang ikan keliling, si anak pemulung dan si pemimpi.
Keberadaanya sekarang di SMA K tidak
akan pernah merubah jati dirinya. Akar kepribadian yang kokoh, iman yang kuat
telah bundanya bangun sejak kecil. Keyakinan bahwa tulisan-tulisan mimpi di
pintu rumahnya akan menjadi kenyataan. Mimpi-mimpi sederhana itu akan terwujud.
Menjadi seorang anak perempuan yang berbakti, menjadi kakak perempuan yang
baik, yang bisa menjadi tauladan bagi adiknya, menjadi inspirasi bagi anak-anak
dikampungnya, dan keinginan untuk mengabdikan diri di masyarakatnya. Untuk
mewujudkan mimpi-mimpi itu Aisyah berangkat
bersama prinsip hidupnya yakni “berprestasi”. Aisyah meyakini bahwa jika Ia
tidak berprestasi maka mimpi-mimpi sederhana itu mustahil akan terwujud. “Jika belajar itu ibadah maka
berprestasi itu dakwah, termasuk dakwah bagi anak-anak di kampung Aisyah, maka
dari itu agar Aisyah bisa berdakwah, membagi ilmu-ilmu yang Aisyah punya,
Aisyah harus berprestasi, Aisyah harus memiliki bekal untuk bisa berbagi”
pernyataan kuat yang Aisyah tanamkan dalam dirinya. Aisyah berdakwah dengan
caranya sendiri, walau dengan hanya mengenalkan satu huruf pada anak-anak
dikampungnya “Alif, ba, ta , sa” untuk
mereka yang pemula. Menghafal ayat demi ayat untuk mereka yang mampu.
Mengenalkan bagaimana hakekat berhijab kepada anak perempuan sejak dini
merupakan satu hal yang sangat di prioritaskan mengingat maraknya penampilan
tanpa batas pandang dizamanya, dan
membangun karakter-karakter pemuda yang berahklak dan bermoral sebelum
mereka tersentuh api global. Aisyah selalu menyempatkan diri untuk berkunjung
ke tempat dimana Ia dan anak-anak
berkumpul, berbagi sedih dan bahagia, lantunan sholawat untuk Baginda
Rasulullah menjadi teman disetiap pertemuan “sholatullah sholamullah ‘ala toha
rasulillah, sholatullah sholamullah ‘ala yasin habibillah”. Alam bebas adalah
tempat yang Aisyah senangi, bersama anak-anak, Aisyah belajar dan bermain,
bertafakkur dengan alam, meresapi bahwasanya
alam dinegeri ini bagaikan sepotong surga yang dilemparkan ke bumi.
Jangan biarkan orang asing yang lebih tahu dan menyadari betapa indahnya surga
dunia yang dititipkan Allah ini, mari manfaatkan alam yang kita miliki
sepenuhnya untuk sarana beredukasi.
Setahun
sudah Aisyah menjalani pendidikan di SMA K, pembulian, pelecehan, kerap Aisyah
rasakan. Di lempari botol-botol plastik bekas minuman yang Aisyah kumpulkan
pagi itu. Ikhlasnya hati Aisyah untuk
mengambil plastik itu kembali dan dimasukkan ke kantong plastik tanggung yang
biasa ia bawa, merunduk mengambil sampah demi sampah, tidak ada pembelaan, mereka
yang berkuasa seperti manusia tak berakal. Tertawa dengan perilaku yang tak
bermoral, mereka berkoar tentang degradasi moral anak bangsa, tapi meraka pula
yang membunuh satu jiwa yang bermoral.
Apapun yang terjadi di setiap hari demi hari, Aisyah tetap Aisyah yang ramah
tamah, senyum sapa ketika melihat orang yang pernah Ia kenal, tak urung jua
orang-orang yang telah mencaci maki dirinya. Semua orang sama dihadapanya,
entah kemarin orang itu yang paling berkoar mengadili jiwanya yang tak
bersalah. Pada semester gasal dan genap Aisyah mampu menjadi yang terbaik di
angkatanya, tetapi hasil itu rupanya tidak bernilai apa-apa bagi sebagian besar
teman-temanya. Satu persatu teman mulai menyadari kelembutan, kesopanan,
kebaikan dan kecerdasan Aisyah. Mengenal sosok Aisyah menjadi penenang bagi
sebagian yang lain.
Seleksi
besar-besaran terjadi di sekolah Aisyah terkait dengan pemilihan perwakilan
sekolah untuk berkompetisi di tingkat wilayah kabupaten atau OSK (Olimpiade
Sains Kabupaten) yang akan menjadi perwakilan di tingkat provinsi, nasional
bahkan internasional. Saat itu, Aisyah menjadi satu-satunya siswa yang
mengambil bidang Astronomi. Dengan tekad yang kuat, usaha yang maksimal, dan
do’a yang tidak pernah putus, atas izin Allah Aisyah lolos seleksi tingkat
kabupaten. Selang beberapa bulan Aisyah
kembali seleksi di tingkat provinsi, tiada hambatan yang berarti apa-apa, atas
keridhoan Allah, Aisyah lolos seleksi tingkat provinsi. Langkah-demi langkah
terlihat mulus, sampai pada ajang yang ditunggu-tunggu setiap peserta OSN
seluruh Indonesia. Siapa disangka si
pemulng dan si anak pedagang ikan keliling ini mendapat medali emas dan
praktikum terbaik. Kemiskinan dan keterbatasan justru membuat Aisyah terpacu berprestasi. Kecintaan
Aisyah terhadap Astronomi mengantarkanya menjadi perwakilan Indonesia dikanca
Internasional dalam IOAA “International Olympiade on Astronomy and
Astrophysical” tahun 2009 di Brasil. Aisyah berhasil mengharumkan nama
Indonesia di kanca Internasional dan mengalahkan peserta dari berbagai negara.
Aisyah pulang ke Indonesia dengan membawa jejak-jejak kaki yang luar biasa,
semangat berprestasi patut untuk dicontoh. Keterbatasan justru yang akan
membuat semangat untuk terus belajar. Sekarang, yang membuli dan yang
melecehkan menjadi kerabat, menjadi sahabat terdekat. Semua ini adalah berkah
dari kesabaran dan keikhlasan Aisyah.
Prestasi-prestasi
yang Aisyah raih menjadi jembatan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi. Aisyah melanjutkan studinya di Institut Teknologi Bandung dengan
beasiswa penuh sampai sarjana. Hasil tidak akan pernah menghianati Ikhtiar dan
doa. Selepas sarjana Aisyah memilih untuk kembali ke kampung halamanya,
mengabdikan diri untuk masyarakatnya, berbagi pengalaman hidup, memberikan
inspirasi bagi mereka yang nyaris putus sekolah hanya karena keterbatasan
biaya, memberikan gambaran tentang bagaimana seharusnya seorang muslimah
menunaikan kewajibanya yang berlandaskan Al-qur’an dan Hadist, membangun mental
anak-anak di kampungnya untuk berprestasi, mendalami ilmu agama sebagai bekal
penyeimbang hidup di dunia. Inilah dakwahnya Aisyah, dakwah seorang muslimah
tidak harus berdiri di atas mimbar,keluar rumah atau bahkan safar (keluar
daerah) , dakwah bukanlah suatu pergerakan tanpa bekal dan bukanlah suatu
omongan tanpa tindakan atau mungkin substansi dan tujuan bedakwah sudah
dilupakan. Dakwah sederhana yang dilakukan Aisyah telah menyelamatkan jutaan
mimpi-mimpi yang nyaris terbuang. Implikasi dari dakwahnya, Aisyah membuat
sebuah pesantren di kampungnya, sebagai wadah agar tujuanya terarah pada tujuan
yang hakiki, membentuk mental positif anak-anak di kampungnya dan merubah
mental negatife masyarakatnya yang sudah banyak terpengaruh oleh kerasnya tuntutan
zaman.
Karakter
Aisyah memang bukanlah karakter dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
khususnya dalam berdakwah. Aisyah radhiyallahu ‘anha, sosok teladan
bagi para wanita yang ingin terjun dalam kancah dakwah, dengan tanpa menguragi
kepribadian dan karakter seorang wanita yang secara fitrah dan syar’i adalah
tinggal di dalam rumahnya, dan tanpa berdiri di atas podium dan berceramah di
atas mimbar atau di hadapan umum. Namun begitu, ilmu yang ada pada dirinya
mengalir kepada para sahabat dan tabi’in, baik laki-laki maupun wanita. Mereka
datang dan bertanya tentang berbagai masalah dalam urusan agama. Aisyah hidup
di zaman yang berbeda dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah juga bukanlah kekasih
Rasulullah yang senantiasa mendapat ilmu di setiap wahyu yang di turunkan kepada
Rasulullah, berbeda dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah menjadi ummahatul
mu’minin (para ibu kaum mukminin), yang mana para sahabat -manusia
yang suci dan bersih hatinya- tidak boleh menikahinya sepeninggal Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam diharamkan untuk meminta atau bertanya kecuali
dari balik tabir atau hijab. Masyarakat saat ini sedang mengalami krisis moral
stadium empat. Jadi bukan hanya dengan kalimat-kalimat bijak untuk
memperbaikinya melainkan butuh tindakan nyata yang mengarahkan kepada yang
ma’ruf dan menjauhi kemungkaran.
Triyatmi
Budiarsih