BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Arus
globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan sulit untuk dikendalikan
terutama karena begitu cepatnya informasi yang masuk ke seluruh belahan dunia,
hal ini membawa pengaruh bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk di dalamnya
bangsa Indonesia. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka
dunia menjadi sempit, ruang dan waktu menjadi sangat relatif, dan dalam banyak
hal batas-batas negara sering menjadi kabur bahkan mulai tidak relevan. Dinding
pembatas antarbangsa manjadi semakin terbuka bahkan mulai hanyut oleh arus
perubahan. Oleh karena itu, Indonesia menghadapi kewajiban ganda, yaitu di satu
pihak melestarikan warisan budaya bangsa dan di pihak lain membangun kebudayaan
nasional yang modern.
Tujuan
akhir usaha atau kewajiban ini adalah masyarakat yang tidak hanya
mampu membangun sederajad dengan bangsa lain, tetapi juga tangguh menghadapi
tantangan kemerosotan mutu lingkungan hidup akibat arus ilmu dan teknologi maupun menghadapi tren global yang terus
bertentangan dengan nilai-nilai leluhur bangsa (Indra Siswarini, makala,
2006:16).
Pertanyannya,
mampukah kita membangun bangsa di tengah-tengah globalisasi dalam arus yang
semakin kuat ? jika jawabannya “ya”,
maka kita akan mampu menjadi negara maju
yang masih berjati diri Indonesia. Jika “tidak”, maka selamanya kita akan
menjadi bangsa terjajah. Salah satu yang bisa menjawab “ya” adalah peran
lembaga pendidikan untuk terus menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta
informasi tanpa menghilangkan jati diri Indonesia melalui pelestarian
nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
hakikat manusia sebagai mahkluk hidup ?
2. Apakah
yang dimaksud dengan Globalisasi ?
3. Bagaimanakah
Globalisasi mempengaruhi kehidupan manusia ?
4. Bagaimana
cara manusia untuk menghadapi tantangan Globalisasi ?
5.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui dan memahami hakikat manusia
2. Memahami
apa itu globalisasi
3. Mengetahui
pengaruh globalisasi terhadap kehidupan manusia
4. Dapat
memecahkan masalah yang diakibatkan oleh globalisasi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT
MANUSIA
Berbicara tentang hakekat
manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan mendasar tentang
manusia, yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut telah banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya jawaban-jawaban itu
secara dialektis melahirkan pertanyaan baru, sehingga upaya pemahaman manusia
masih merupkan pokok yang problematis. Dengan ungkapan lain, manusia masih
merupakan misteri bagi dirinya sendiri. Informasi penting sekitar kemesterian
manusia dapat dilihat dalam buku berjudul Manusia, Sebuah Misteri, karya
dari Louis Leahy (1989).
Dalam beberapa sumber pustaka
dapat ditemukan berbagai rumusan tentang
manusia.
Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan
dirinya
sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat
demikian
dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas
binatang.
Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya
sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa
ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya
mencari makna kehidupannya (der Weij, 1991: 7-8)
Drijarkara dalam bukunya Filsafat
Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa
manusia
adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi
juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal,
menghadapi
kesukaran dan sebagainya . Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan
merendahkan diri sendiri dan sebagainya. Dia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dia juga bisa mengambil
jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang
berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga
berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya,
bisa merubah dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak
berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa
memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Lebih lanjut Drijarkara
mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi
konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah oleh situasi
itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat
dalam situasi,situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia
menyejarah ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba
menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan
betapa banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan
di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai
berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus, dan homo
religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang
manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan
animal educandum.
Banyaknya definisi tentang
manusia, membuktikan bahwa manusia adalah
makhluk
multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang
mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah
manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata
seorang antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978: 3)
Berdasarkan fakta tersebut, maka
ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia sebagaimana akan
terlihat pada uraian di bawah ini, yakni pola pemikiran biologis, pola
pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran teologis
(lihat Basis Edisi Oktober 1980: 371-375). Penulis sendiri lebih memilih
pola pemikiran yang keempat itu bukan pola pemikiran teologis, melainkan pola pemikiran
religius. Hal ini didasarkan pada rumusan pengertian manusia sebagai homo religiosus.
Sedangkan pola pemikiran biologis, psikologis dan sosial-budaya masih dapat
dipertahankan.
1. Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini,
manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari
struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini
adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang
bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan
kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas,
yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua
sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses
sosial-budaya. Menurut pola ini juga, bahwa manusia dipahami dari sisi
internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan
bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan
sesamanya.
2. Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah
perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan
filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh-tokoh yang berpengaruh
besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm.
Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan
antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukum
hukum belajar
seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu tokoh dari
pandangan ini adalah Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3).
Dari ketiga pandangan yang disebut
terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih
menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih
menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih
menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh
faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta
merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal,
karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang
berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan
dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada
saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau
otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal).
Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda
dengan desakan faktor eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming
sesuatu yang menggiurkan dari pihak lain.
3. Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran
ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan
kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya
mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh
yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami
kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada
jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi pada
jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan
mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan
bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba
itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan
lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan
pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam
warisan ras.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan
dalam pola ini adalah Ernst Cassirer (1990:39-40) seorang filsuf kebudayaan
abad 20. Dia merumuskan manusia sebagai animal symbolicum,
makhluk yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari
Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi
pengertian umum tetapi bukan ciri khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi manusia
sebaai animal rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai
untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan
dan bermacam-macamnya. Itulah mengapa dia menawarkan definisi manusia sebagai animal
symbolicum yakni makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan
symbol (1990: 40). Pada bagian lain Cassirer juga berpendapat bahwa ciri utama
atau ciri khas manusia bukanlah kodrat fisik atau kodrat metafisiknya,
melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem-sistem kegiatan manusiawilah yang
menentukan dan membatasi dunia.
4. Manusia menurut pola pemikiran
Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari
pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah
Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam
buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat,1982:38).
Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam
suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati
sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam
tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini
selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara
hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo
non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang
hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya,
yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang
nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja. Menurut
Soerjanto Poespowardojo sebagaimana dimuat dalam Sekitar Manusia: Bunga
Rampai tentang Filsafat Manusia (1978: 3) bahwa untuk memahami manusia bukan
dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan
interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari
kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan
dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut
pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana
dikutip oleh Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah
manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan
kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya. Dengan
membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita melihat manusia sebagai
makhluk alamiah, “naturwesen’ yang merupakan bagian dari alam dan oleh karena
itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula. Sebagai makhluk
alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan
makanan agar badannya tetap segar dan sehat. Ia membutuhkan hiburan agar
hidupnya menarik dan tidak membosankan. Ia pun perlu belajar dsb. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh hal-hal yang fisik
dan rohani. Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk yang belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus
bekerja dan berkarya. Jelaslah di sini bahwa kerja dan berkarya mempunyai arti yang
manusiawi. Dalam kerjalah tercermin mutu serta martabat manusia.
B.
PENGERTISN
GLOBALISASI
Globalisasi adalah sebuah istilah
yang dikenalkan pertama kali oleh wartawan Theodore Levitt pada tahun
1980-an. Istilah tersebut sampai sekarang masih terus diperdebatkan di kalangan
akademisi dan dunia pemerintahan, baik nasional maupun internasional. Saya
mengenal pemikiran tentang globalisasi pertama kali dari buku “Sesat Pikir
Teori Pembangunan dan Glibalisasi” karya DR Mansour Fakih. Buku tersebut
menuntun saya memahami glibalisasi dengan perspektif dunia ketiga, dalam hal
ini Indonesia. Menurut Fakih, yang nanti akan kita bahas berbagai pandangan
yang berbeda, pada dasarnya globalisasi terjadi ketika ditetapkannya formasi
social global baru dengan ditandai diberlakukannya secara global suatu
mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan free trade ( pasar bebas ), yakni berhasil ditandatanganinya
kesepakatan internasional tentang perdagangan pada bulan April tahun 1994
setelah melalui proses yang sulit, di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian
internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement Tariff an Trade (GATT). Bagi Fakih, globalisasi
merupakan fase ketiga sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia
lain, yang diperkirakan telah berusia lima ratus tahun. Menurutnya, fase
pertama adalah priode kolonialisme dan fase kedua dikenal dengan sebagai era
pembangunan atau era developmentalisme.
Proses
globalisasi menurut Fakih ditandai dengan pesatnya perkembangan paham
kapitalisme, yakni kian terbuka atau menggelobalnya peran pasar, investasi, dan
proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian
dikuatkan oleh ideology dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan
yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global.
Glibalisasi
muncul bersamaan dan menjadi bagian
runtuhnya pembangunan di Asia Timur. Era baru bernama globalisasi
tersebut meyakinkan rakyat miskin dunia ketiga seolah-olah merupakan arah baru
yang menjanjikan harapan kebaikan bagi umat manusia dan menjadi keharusan
sejarah manusia di masa depan. Namun, globalisasi melahirkan kecemasan bagi
mereka yang memikirkan permasalahn sekitar pemiskinan rakyat dan merjinalisasi
rakyat, serta keadilan social. Bersamaan dengan itu, fenomena yang juga
berkembang secara pesat dan global berakibat pada semakin meningkatnya kemajuan
di bidang telekomunikasi, elektronika, serta bioteknologi yang dikuasai oleh
perusahaan transnasional. Sementara itu, di pihak lain dunia juga masih
menghadapi krisi hutang dan krisis over-produksi warisan pembangunan tahun
1980-an, serta warisan dampak negative dan kampanye internasional yang dulu
dikumandangkan oleh The Bretton Woods
Institusions tentang model pembangunan ekonomi “pertumbuhan”.
Kendati
ada berbagai versi teori globalisasi, terdapat kecendrungan di hampir semua
teori tersebut untuk menjaga jarak dramatis dari focus di Barat dan menelaah
tidak hanya proses-proses transnasional yang mengalir ke berbagai penjuru,
namun juga pada batas-batas tertentu, yang otonom dan independen dari bangsa
atau wilayah perang (Appadurai,1996). Menurut George Ritzer, globalisasi dapat dianalisis
secara budaya, ekonomis, politis, dan/atau institusional. Pada masing-masing
kasus, perbedaan utamanya adalah apakah orang melihat semakin besarnya
homogenitas atau heterogenitas.
Kecendrungan
ke arah homogenitas sering kali di asosiasikan dengan imperialisme budaya, atau
dengan kata lain, meningkatnya pengaruh internasional dari kebudayaan tertentu.
Ada berbagai imperialisme budaya termasuk yang menekankan peran kebudayaan
Amerika (Kuisel,1993;Ritzer, 1995,2000), Barat (Giddens,1990), atau Negara-negara
inti (Hannerz, 1990). Namun Robertson (1992) menentang gagasan ini, meskipun ia
tidak menggunakan istilah inperialisme
budaya, melalui konsepnya yang terkenal dengan istilah glokalisasi. Konsep glokalisasi ini melihat yang global
berinteraksi dengan yang lokal untuk menghasilkan sesuatu yang kas sifatnya
yaitu glokal. Pandangan yang menegaskan heterogenitas budaya seperti itu tidak
hanya dari Robertson, beberapa orang lain menegaskan halyang sama termasuk
Garcia Canclini (1995) dan Pieterse (1995). Yang dalam kategori umum ini adalah
karya sarjana seperti Friedman (1994), yang menggambarkan duia yang dirincikan
oleh pastiche budaya.
Pemikiran
ilmu social yang memusatkan perhatian pada faktor-faktor ekonomi, seperti DR
Mansour Fakih di atas, cenderung menitikberatkan faktor ekonomi dan efek
homogenisasi faktor-faktor tersebut bagi dunia. Pada umumnya mereka melihat
globalisasi sebagai menyebarkan ekonomi pasar ke berbagai kawasan dunia. Contoh
lain pemikiran social jenis ini adalah George Stiglitz, ekonom pemenang hadiah
Nobel dan mantan ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Amerika Serikat pada
Bil Cliton, mengemukakan kritik tajam terhadap Bank Dunia, WTO, dan khususnya
IMF karena peran mereka dalam memperburuk, ketimbangan memperbaiki, krisi
ekonomi global.
Stiglitz
memberi argument yang meyakinkan akan pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia PBB, IMF, dan Bank
Dunia, juga perjanjian-perjanjian perdagangan internasional dan peraturan
tentang kekayaan intelektual supaya lembaga-lembaga itu benar-benar mampu
menjawab permasalahan masa kini. Stiglitz
mengecam IMF dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya yang
tidak sungguh-sungguh berupaya untuk membantu negara-negara miskin agar bisa
keluar dari masalahnya dan sealiknya hanya menawarkan solusi “satu untuk semua”
yang terbukti gagal menyelesaikan masalah-masalah spesifik dari negara-negara miskin
tersebut.
Bentuk
heterogenitas lain pada ranah ekonomi anatara lain komodifikasi budaya lokal
dan adanya spesialisasi yang fleksibel sehingga memungkinkan dihasilkannya
beragam produk yang bisa memenuhi kebutuhan bermacam spesifikai lokal. Lebih
umu lagi, mereka yang menekankan heterogenesasi beragumen bahwa interaksi pasar
global dengan pasar lokal menyebabkan terciptanya pasar lokal unik yang
menginteraksikan permintaan pasar global dengan realitas pasar lokal.
Sekali
lagi, teori globalisasi sangat dipengaruhi oleh pemikiran mengenai homogenisasi
dan teregogenisasi. Hal tersebut akan semakin tampak dalam
pembahasan-pembahasan berikut yang akan dikelompokkan menjadi empat bagian.
Pertama, kita akan diajak melihat berbagai sudut pandang tentang globalisasi
yang berasal dari berbagai macam pemikiran (Kellner, Giddens, Back, dan
Bauman). Selanjutnya, kita diarahkan untuk masuk pada tiga kategori besar dalam
perumusan teori berkaitan dengan globalisasi, yaitu: cultural, ekonomi, dan
politik/institusional.
1.
BEBERAPA
TEORITIS DALAM GLOBALISASI
a.
Perspektif
Marxian Globalisasi oleh Douglas Kellner
Teori
Kellner didasarkan atas premis bahwa kita belum bergegas ke zaman postmodern
atau postindustri, akan tetapi kapitalisme masih jadi rezim tertinggi. Ia
menyebut kapitalisme yang mutakhir ini dengan istilah tekno-kapitalisme.
Kellner mendefinisikan tekno-kapitalisme sebagai konfigurasi masyarakat kapitalis
dimana pengetahuan teknis dan ilmiah, automasi, computer dan teknologi maju
memainkan peran dalam proses produksi yang parallel dengan peran tenaga kerja
manusia, mekanisasi dan mesin pada era kapitalisme sebelumya, sambil
memproduksi cara baru untuk menata masyarakat dan bentuk kebudayaan serta
kehidupan sehari-hari.
Kellner selanjutnya mengalihkan
perhatiannya pada bentuk globalisasi dan lebih umum lagi, orientasi kritis dan
neo-Marxian. Dalam pandangan Kellner, kunci untuk memahami globalisasi adalah
dengan meneorikannya sebagai produk revolusi
teknologi sekaligus sebagai produk restrukturisasi global atas kapitalisme. Namun, perubahan-perubahan
ini terkait erat dengan faktor-faktor politik dan social. Jadi, kita harus
melihat hubungan dialektis antara teknologi, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Tentu saja, iniberarti tidak hanay menyesuaikan diri dengan hubungan antar
mereka namun juga dengan konflik, kontradiksi, dan ambiguitas mereka.
Perspektif dialektis juga
menjelaskan bahwa terdapat cirri-ciri progresif dan emansipatoris globalisasi
dan bahwa orang harus berbicara tentang keduanya. Faktor pemisah utama, sekali
lagi dengan perspektif dialektis, adalah perbedaan antara globalisasi yang
dipaksakan dari atas dengan yang tumbuh dari bawah. Yang kedua ini adalah
akibat dari kontestasi dan rekonfigurasi hal-hal yang diterapkan pada tingkat
masyarakat yang lebih rendah. Demokrasi bisa berasal dari bawah, dan pada taraf
global hal ini bertentangan dengan kekuatan otoriter dari atas.
Bagi Kellner, globalisasi melibatkan
pasar kapitalis dan serangkaian relasi social dan aliran komoditas, modal,
teknologi, gagasan, bentuk kebudayaan, dan orang-orang di seluruh batas-batas
nasional melalui masyarakat jaringan global. Baginya, transmutasi teknologi dan
modal bekerja sama menciptakan dunia global dan terkait satu sama lain.
Revolusi teknologi yang melibatkan penciptaan jaringan komunikasi,
transportasi, dan pertukaran yang terkomputerisasi adalah prasyarat ekonomi
global, bersama dengan perluasan system pasar kapitalis dunia yang semakin
menyerap wilayah dunia dan ranah produksi, pertukaran dan konsumsi ke dalam
orbitnya.
Tekno-sains menyusun infrastruktur
globalisasi tatkala ekonomi kapitalis menjadi sentral dari gagasan globalisasi.
Jadi,inti globalisasi ialah terletak pada hubungan dialektis antara tekno sains
dengan ekonomi yang dipandangnya sebagai pemikiran dominan tentang globalisasi.
Perspektif dialektis Kellner tampak
menarik dalam pemikirannya tentang Internet. Di satu sisi teknologi internet
digunakan dengan berbagai cara untuk mendorong berlangsungnya globalisasi
kapitalis, namun disisi lain internet juga digunakan untuk memobilisasi mereka
yang menentang globalisasi. Dengan demikian dalam pandang Kellner, meskipun
potensi demokrasi di internet lebih terasa sebagai khayalan, namun paling tidak
hal ini menjadikan globalisasi sebagai lading kontestasi.
b.
Giddens
tentang “Perputaran Dunia” dalam Globalisasi
Pembahasan
tentang globalisasi yang dilakukan Giddens banyakditemukan dalam bukunya
“konsekuensi-konsekuensi modernitas”. Globasasi memiliki efek yang cukup besar
pada isu-isu yang menjadi pokok perhatian Giddens. Selain itu, dalambukunya
tersebut disebutkan adanya kaitan erat antara globalisasi dan risiko, khususnya
kelahiran dari apa yang disebutnya sebagai risiko yang diproduksi secara
mekanis.
Ada
empat dimensi menurut Giddens yang bisa kita gunakan mengenali hakikat
globalisasi. dimensi globalisasi yang pertama adalah ekonomi kapitalis dunia.
Selanjutnya dimensi yang kedua adalah sistem negara bangsa, dandimensi yang
ketiga adalah tatanan militer. Terakhir atau yang keempat dari dimensi
globalisasi adalah pembagian kerja internasional.
Giddens
melihat globalisasi sebagai proses dua arah,diamana terjadi proses saling
mempengaruhi. Meskipun Giddens menegaskan peran Barat pada umumnya dan Amerika
Serikat pada Khususnya dalam globalisasi, namun Amerika dan Barat juga
diengaruhi dalam globalisasi. Bahkan menurutnya globalisasi semakin
terdesentralisasikan sehingga bangsa-bangsa diluar Barat memainkan peran
semakin besar didalamnya. Muncul
bentuk-bentuk saling ketergantungan global dan kesadaran lingkungan yang
mengatasi isu-isunya tentu akan melibatkan sejumlah konsepsi dan strategi yang
berasal dari setting non-Barat.
Dalam
pandangan Giddens, di satu sisi globalisasi itu melemahkan kebudayaan lokal,
namun disisi lain ( bisa juga justru) membantu membangkitkannya. Ia
mengemukakan pandangan inovatif bahwa globalisasi “menekan ke samping”,
menghasilkan wilayah-wilayah baru yang mungkin melintasi bangsa. Ia menawarkan
contoh kawasan di sekitar Barcelona di Spanyol Utara yang membentang hingga ke
Prancis.
Dalam
bukunya Runway World (2001), Anthony Giddens menyebutkan bahwa perbenturan yang
kini
terjadi pada level global berlangsung antara fundamentalisme dengan
kosmopolitanisme. Pada akhirnya, Giddens melihat munculnya “masalah
kosmopolitan global yang muncul tersebut tetap merupakan produk globalisasi.
Terlebih lagi, fundamentalisme menggunakan kekuatan-kekuatan global (misalnya,
media massa) untuk mencapai tujuan-tujuannya. Fundamentalisme bisa memiliki
baragam bentuk-agama, etnis, nasionalis, politik- namun apapun bentuknya,
Giddens menganggap “benar kalau kita memandang fundamentalisme sebagai
problematika, karenadia berujung pada kemungkinan terjadinya kekerasan, dan ia
menjadi musuh nilai-nilai kosmopolitan”.
c.
Ultrich
Beck, Politik Globalisasi, dan Kosmopolitanisme
Menurutnya
Ritzer, kita dapat memahami esensi pemikiran Beck tentang isu politik
globalisasi dan kosmopolitanisme dengan mendiskusikan pembedaan yang dilakukan
terhadap globalisasi, globalitas dan globalisasi. Globalisasi adalah pandangan
bahwa dunia ini didominasi oleh ekonomi dan bahwa kita tengah menyaksikan
munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologineoliberal yang
mendukungnya. Kendati mengkritik globalisme, menurut Ritzer, Beck melihat
adanya sejumlah nilai lebih dalam gagasan globalitas, dimana ruang-ruang
tertutup, khususnya yang disosialisasikan dengan bangsa, semakin menjadi ilusi.
Mereka menjadi ilusi karena globalisasi, atau “proses ketika negara-negara
bangsa yang berdaulat dikotak-kotakkan dan digerogoti oleh aktor-aktor
transnasional dengan beragam harapan pada kekuasaan, orientasi, identitas, dan
jaringan” (Beck, 2000: 11). Proses-proses transnasional ini bukan semata-mata
bersifat ekonomis, tapi juga melibatkan masalah ekologi, kebudayaan, politik,
dan masyarakat sipil (civil society). Proses-Proses transnasional ini melewati
batas-batas bangsa, mendorongnya untuk terus meluber, kalaupun tidak menjadi
sesuatu yang tak relevan: “Globalitas berarti bahwa mulai dari sekarang, tidak ada lagi kejadian-kejadian di atas planet kita ini
yang akan jadi kejadian lokal semata; semua penemuan, kemenangan maupun kekacauan pasti memengaruhi
seluruh dunia” (Beck, 2000: 11).
Kendati
proses transnasional telah lama berlangsung, globalitas adalah
telah lama
berlangsung, globalitas adalah sesuatu yang baru paling tidak karena tiga
alasan. Pertama, pengaruhnya menjangkau ruang geografis yang jauh lebih besar.
Kedua, pengaruhnya menjangkau waktu yang jauh lebih besar bagi “jaringan
tansnasional, hubungan dan aliran jaringan” (Beck, 2000:12). beck juga
mendaftar sejumlah hal lain yang menjadi ciri khas globalitas ketika
dibandingkan dengan manifestasi transnasionalitas sebelumnya (Beck, 2000: 13):
1.
Kehidupan
dan interaksi sehari-hari ang melintasi batas-batas negara banyak dipengaruhi.
2.
terdapat
persepsi diri yang bersifat transnasional di ranah-ranah seperti media massa,
konsumsi, dan pariwisata
3.
Komunitas,
tenaga kerja dan modal semakin tidak terikat tempat.
4.
Meningkatkan
kepedulian terhadap bahaya ekologi global dan tindakan yang diambil untuk
mengatasinya.
5.
Meningkatkan
persepsi tentang yang lain transkultural dalam kehidupan kita.
6.
Industri
kebudayaan global yang bergerak pada level yang terkirakan
sebelumnya.meningkatnya “jumlah dan kekuasaan aktor, institusi, dan kesepakatan transanasional.
d.
Zygmunt Bauman tentang Konsekuensi
– Konsekuensi Globalisasi terhadap Manusia
Sebagaimana dikatakan Ritzer, Bauman
(1998) melihat globalisasi sebagai “space war” atau perang ruang angkasa.
Menurut pandangannya, “mobilitas menjadi faktor stratifikasi paling kuat dan
paling didambakan didunia saat ini (Bauman, 1998 : 9). Jadi, para pemenang
perang ruang angkasa adalah mereka yang mobile,
mampu bergerak secara bebas ke seluruh dunia dan dalam proses menciptakan makna
bagi diri mereka sendiri. Mereka dapat mengapung relative bebadi ruang angkasa,
dan ketika mereka harus “mendarat” di suatu tempat, mereka mengisolasi diri di
ruang yang terhalang tembok dan diawasi dimana mereka bisa aman dari para
pecundang dalam perang tersebut. Para pecundang tidak hanya tidak memiliki
mobilitas namun juga terpisah dan dibatasi oleh teritori yang tidak memiliki
makna dan bahkan tidak memiliki kemampuan menawarkan makna. Seperti
dikemukankan Bauman (1998 : 23), “Jika ekstrateritorialitas elite merasa telah meracuni kebebasan, teritorialitas lain
merasa seperti berada di halaman rumah, dan bahkan ebih seperti dipenjara –
yang jauh lebih menghinakan bagi
pemahaaman orang atas ‘kebebasanuntuk bergerak.” Akibatnya, teritori menjadi
lading pertempuran tempat pemenang dan pecundang perang ruang angkasa tersebut
berhadapan dalam konfik yang tidak seimbang.
Para pemenang dapat dikatakan hidup
dalam waktu ketimbang dalam ruang. Jadi, “ruang tidak menjadi
persoalan bagi mereka. Mereka mampu untuk hampir – hampir menjangkau setiap
ruang dengan cepat, untu tidak mengatakan secara instan.” Sebaiknya, para
pecundang “hidup didialam ruang
Berat, lentur, tak tersentuh, yang mengikat waktu, dan menjaganya agar tetap
berada di luar kendali penghuninya” (Bauman, 1998 : 88). Namun, penting
membedakan mereka yang paling tidak memiliki keleluasaan bergerak. Wisatawan
adalah mereka yang sedang berpindah karena merka menginginkannya.Mereka
tertarik oleh sesuatu, mengganggapnya tak dapat dilawan, dan bergerak
kearahnya. Selanjutnya terdapat gelandangan, yang berpindah karena mereka
beranggapan lingkungan mereka tidak bisa dipertahankan lagi, tidak ramah karena
berbagai alasan. Bauman (1998 : 93) mengemukakan perbedaan ini dalam konteks
pokok perhatian kita disini : “Yang kini disebut dengan ‘globalisasi’bergerak
kearah impian dan hasrat para wisatawan. Efek keduanya – efek samping, namun
tak dapat dielakkan – adalah perubahan banyak orang menjadi geandangan.” Namun,
kebanyakan orang berada di antara kedua kutub ekstrem tersebut dan “ tidak
terlalu yakin dimana… mereka berada saat itu dan bahkan kurang yakin bahwa
tempat mereka berada sekarnag maih ada di hari esok” (Bauman, 1998 : 97). Jadi,
globalisasi berarti situasi sulit bagi kebanyakan orang.
C.
DAMPAK
GLOBALISASI
1.
Bidang
Ekonomi
Globalisasi
di bidang ekonomi telah mendorong berkembangngnya pasar bebas. Pasar bebas atau
liberalisasi akan menimbulkan masalah jika omoditas yang dihasilkan dari dalam
negeri (pertanian dan industri) tidak mampu bersaing dengan komoditas yang
berasal dari negara lain. Sehingga pasar domestik dibanjiri oleh produk dan
komoditas yang berasal dari luar negeri (impor) yang pada akhirnya mengancan
dan merugikan eksistensi pertanian dan industri dalam negeri.
Bagi
negara yang memiliki infrastruktur ekonomi yang masih lemah, dimana industri
dalam negeri belum siap menghadapi persaingan antar bangsa dan negara yang
demikian bebas, maka industri dalam negeri besar kemungkinan akan mengalami
ancaman serius dari terpaan produk industri asing. Globalisasi membuka peluang
dan akses pasar yang lebih luas bagi produk-produk asing bagi konsumen dalam
negeri. Industri dalam negeri menghadapi ancaman serius yang dapat mematikan
gerak dan pertumbuhan industri nasional.
2.
Bidang Lingkungan
salah
satu fenomena ancaman global di bidang lingkungan hidup adalah pemanasan global
(global warming). Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena
peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah
kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas
seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC
sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
Pemanasan
global menimbulkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
(seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir,
peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna
tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dan sebagainya).
Jadi,
pemanasan global merupakan meningkatnya temperatur di planet bumi secara
global, meliputi peningkatan temperatur atmosfir, temperatur laut dan
temperatur daratan bumi yang menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak
langsung terhadap masa depan bumi termasuk manusia dan makhluk hidup lain.
Dampak yang ditimbulkan cenderung mengancam eksistensi bumi, dan kelangsungan
hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Semakin meningkatnya temperatur di
permukaan bumi ternyata berkaitan dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan
oleh aktifitas manusia.
Beberapa
jenis gas rumah kaca merupakan penyebab meningkatnya temperatur di planet bumi
yang berasal dari aktivitas manusia sendiri. Artinya, aktivitas manusia
merupakan kontributor terbesar bagi terbentuknya gas-gas rumah kaca, seperti
pembakaran pada kendaraan bermotor/industri (pabrik-pabrik), dan pembangkit
tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak, batu
bara dan sebagainya).
3.
Peradaban Manusia
Kebudayaan
Nasional adalah kebudayaan kita bersama yakni kebudayaan yang mempunyai makna
bagi kita bangsa Indonesia. Kita sebagai warga negara Indonesia harus bangga
akan kebudayaan Indonesia yang sangat melimpah. Karena Indonesia sangat kaya
akan budaya dan juga bahasa yang begitu banyak. Hampir di setiap provinsi di
Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri dan kebudayaan disuatu provinsi tersebut
selalu berbeda dengan kebudayaan di provinsi lain. Kebudayaan Indonesia begitu
beragam, mulai dari berbagai macam kesenian, bahasa, adat istiadat, pakaian
adat, makanan khas dan berbagai macam tari-tarian dan lagu daerah.
Arus
globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya
Indonesia. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan
sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian
budaya.
Masuknya
budaya asing membuat rakyat Indonesia mulai menjauhi dan melupakan budaya
negara. Sebagai contoh, masyarakat cenderung lebih memilih makanan di restoran
cepat saji daripada di restoran biasa.
Dampak
lain dari globalisasi terhadap peradaban manusia diantaranya masyarakat
mengalami anomi/tidak punya norma atau heteronomy/ banyak norma, sehingga
terjadi kompromisme sosial terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap melanggar
norma tunggal masyarakat. Sebagai contoh, gaya berpakaian remaja Indonesia yang
dulunya menjunjung tinggi nilai norma kesopanan pakaian yang cenderung tertutup
kini telah berubah mengikuti perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja
putri di kota-kota besar berpakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian
tubuh tertentu. Budaya berpakaian minim ini dianut dari film-film luar negeri
yang ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia. Derasnya arus
informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut menyumbang bagi
perubahan.
D.
PERMASALAHAN
Keterpurukan
petani dan jeratan globalisasi
Meski
dari waktu ke waktu produksi pangan di Indonesia terus meningkat, ironisnya
pendataan rill petani sebagai penghasil pangan tersebut meningkat. Akibatnya,
nasip petani kian terpuruk. Hal disebabkan makin berkurang atau hilangnya lahan
pertanian dari tangan petani, antara lain karena derasnya alih fungsi lahan
khususnya dari sawah ke lahan nonpertanian. Sebab lain ialah maraknya pemilihan
lahan pertanian oleh orang kota (kompas 26/4/2010).
Semua
itu tak terlepas dari pengaruh tidak dituntaskan permasalahan pokok petani,
serta masih kurangnya ketrampilan terhadap petani guna melindungi meraka dari
jeratan ekonomi global.
Jeratan Globalisasi
Keterpurukan
petani juga disebabkan karena kurangnya keberpihakan pemerintah. Hal ini
sungguh berbeda dengan nasip petani di negara-negara maju, petani di Uni-Eropa
dan Amerika Serikat, misalnya hanya berjumlah 5-7% dari total populasi, tetapi
mereka menerima subsidi lebih besar dari 50% anggaran pemerintah (Iswantoro,
2003).
Sebaliknya,
di Indonesia jumlah petani lebih dari 50% jumlah penduduk. Mereka memiliki
konstribusi tinggi pada penyediaan pangan nasional serta penyerapan tenaga
kerja. Sayangnya, keberpihakan pemerintah terhadap petani sangat kurang. Seiap
musim tanam padi, pupuk dan peptisida kerap kali langka dan harganya melambung,
tetapi harga gabah/padi petani rendah.
Ditambah
lagi, dalam kondisi dililit kemiskinan dan tanpa subsidi dari pemerintah,
petani gurem dibiarkan harus
berkompetisi dengan negara lain yang ekonominya telah maju. Contohnya,
mengimpor beras dari negara lain tanpa mekanisme tarif yang layak karena
memdukung ekonomi pasar yang dipaksakan oleh kaum kapitalis dengan semangat
globalisasi.
E.
SOLUSI
Permasalahannya siapkah kita
menghadapi persaingan dengan negara lain yang dalam banyak hal lebih siap,
seperti dari sumber daya manusianya, ilmu pengetahuan dan teknologinya, serta
modalnya? Jika tidak mampu, maka kita akan kalah dalam persaingan global
tersebut. Soedjatmoko (1991:97) menggambarkan sifat-sifat dan kemampuan yang
harus dimiliki manusia Indonesia di masa mendatang sebagai berikut.
a.
Orang
harus serba tahu (well informed), dan harus selalu menyadari bahwa
proses belajar tidak akan pernah selesai di dalam dunia yang terus berubah
secara sangat cepat. Dia harus mampu mencerna informasi yang banyak tapi
tuntas, itu artinya harus mempunyai
kemampuan analisis yang tajam, mampu berpikir integratif serta dapat bereaksi
cepat.
b.
Orang harus kreatif dalam memberikan jawaban
terhadap tantangan baru, serta mempunyai kemampuan mengantisipasi setiap
perkembangan.
c.
Mempunyai kepekaan terhadap keadilan sosial
dan solidaritas sosial. Peka terhadap batas-batas toleransi
masyarakat serta terhadap perubahan sosial dan ketidakadilan.
d.
Memiliki harga diri dan kepercayaan pada diri
sendiri berdasarkan iman yang kuat.
e.
Sanggup mengidentifikasi dimensi-dimensi moral
dan etis dalam perubahan sosial dan pilihan teknologi. Selanjutnya juga sanggup
menginterpretasikan ketentuanketentuan agama sehingga terungkaplah relevansinya
dalam pemecahan masalah dan perkembangan-perkembangan baru.
Sebagai perbandingan Ulrih
Teicher (1997:540 mengemukakan bahwa manusia masa depan harus mempunyai
persyaratan kualitas dan kemampuan sebagai berikut.
a.
Fleksibel.
b.
Mampu
dan bersedia untuk berpartisipasi dalam inovasi serta menjadi kreatif.
c.
Mampu
menguasai hal-hal yang tidak menentu atau seringkali berubah-ubah.
d.
Tertarik
dan siap belajar seumur hidup.
e.
Memiliki
kepekaan sosial dan keterampilan berkomunikasi.
f.
Mampu
bekerja dalam tim.
g.
Mampu
mengambil tanggung jawab yang diserahkan padanya.
h.
Mampu
menyiapkan diri untuk melakukan internasionalisasi pasaran kerja melalui
pengertiannya tentang macam-macam budaya.
i.
Cakap
dalam bebagai hal, baik keterampilan umum, maupun keterampilan
profesional.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia Indonesia yang
ideal adalah manusia yang mampu menghadapi tantangan masa depan yang semakin
rumit dan tidak menentu. Mereka itu adalah yang memiliki beberapa sifat sebagai
berikut.
a)
Mampu
meningkatkan produktivitas kerja.
b)
Memiliki
kemampuan berpikir kreatif dan analitis.
c)
Memiliki ilmu dasar yang luas serta
keterampilan kerja yang tinggi.
d)
Kesiapan
untuk belajar sepanjang hidup agar dapat meningkatkan kemampuannya secara
berkelanjutan.
e)
Fleksibel
dan adaptif, yang keduanya digunakan untuk menghadapi berbagai perubahan yang
sangat cepat.
f)
Memiliki moralitas yang baik, yang bersumber
pada agama yang diyakini.
Menghadapi
globalisasi yang memiliki dampak positif dan negatif, dibutuhkan komitmen
terhadap prinsip-prinsip moral yang semakin kuat. Diyakini pula bahwa
pendidikan berada di garis depan untuk mewujudkannya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Manusia, dalam berbagai
perspektif, merupakan makhluk individu sekaligus juga memiliki peranannya
sebagai makhluk social. Hal ini memberi makna bahwa, manusia membutuhkan
interaksi dengan lingkungan dan
sesamanya dalam pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan kelompok bersama maupun
kebutuhan pribadi. Adapun globalisasi merupakan suatu proses perkembangan dunia
yang tidak dapat dihindarkan. Dunia diibaratkan sebagai satu rumah dimana
manusia terhubungan antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan besar.
Manusia, dalam era globalisasi tidak dapat terhindar dari arus kompleksitas
perubahan dalam memenuhi kebutuhannnya. Sehingga, suka atau tidak manusia harus
mengikuti perubahan tersebut. Dalam derasnya arus globalisasi tersebut, ada
banyaks dampak yang ditimbulkan, baik dari segi positif maupun negatif.
Globalisasi dikatakan membawa dampak positif, apabila perubahan – perubahan
dalam globalisasi tersebut dapat memajukan taraf hidup dan peradaban manusia.
Sedangkan Globalisasi dikatakan membawa dampak negative apabila manusia tidak
mampu memfilter dan mengembangkan diri dan potensinya untuk mnghadapi tantangan
globalisasi bagi manusia. Sehingga, manusia dituntut untuk pandai – pandai
menyikapi perubahan – perubahan dalam globalisasi.
2. Saran
Semoga
Indonesia dapat menghadapi tantangan baru dalam memasuki era globalisasi.
dimana proses mendunia dengan tingkat perubahan yang cepat dan radikal di
berbagai aspek kehidupan manusia.sehingga
kita tidak lagi merasa dunia semakin menyusut, dengan kecanggihan
teknologi kita tidak tersekat lagi oleh ruang dan waktu. Dengan teknologi kita
bisa berkomunikasi dengan siapa saja dan kapan saja dan dimana saja. Tetapi
dibalik kecanggihan dan perubahan yang terjadi dapat menimbulkan ketimpangan
jika kita tidak siap dengan adanya perubahan sehingga bisa terjadi ketimpangan
budaya yang tentunya akan merugikan kita. Untuk itu kita harus siap menghadapi
perubahan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Djaya, Kusuma. 2012. Teori-teori Modernitas dan Globalisasi.
Bantul: Kreasi Wacana.
der Wij, P.A., van. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentangs Manusia. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. 1984/1985. Materi Dasar Pendidikan Program
Akta Mengajar V.
Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.
Drijarkara,
N. 1969. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Penerbit Jajasan Kanisius.
Iskandar,
Johan. 2014. Manusia dan Lingkungan
dengan Berbagai Perubahannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lauer,
H.Robert. 2003. Perspektif Tentang
Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Setiadi,
Elly, dkk. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya
Dasar. Jakarta: Kencana.
Susanto,
Sunario. 1992. Globalisasi dan Komunikasi.
Jakarta: Pustaka Sinar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar