Sabtu, 22 Oktober 2016

manusia dan globalisasi


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Arus globalisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dan sulit untuk dikendalikan terutama karena begitu cepatnya informasi yang masuk ke seluruh belahan dunia, hal ini membawa pengaruh bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka dunia menjadi sempit, ruang dan waktu menjadi sangat relatif, dan dalam banyak hal batas-batas negara sering menjadi kabur bahkan mulai tidak relevan. Dinding pembatas antarbangsa manjadi semakin terbuka bahkan mulai hanyut oleh arus perubahan. Oleh karena itu, Indonesia menghadapi kewajiban ganda, yaitu di satu pihak melestarikan warisan budaya bangsa dan di pihak lain membangun kebudayaan nasional yang modern.
Tujuan akhir usaha atau kewajiban ini adalah masyarakat yang tidak hanya mampu membangun sederajad dengan bangsa lain, tetapi juga tangguh menghadapi tantangan kemerosotan mutu lingkungan hidup akibat arus ilmu dan teknologi  maupun menghadapi tren global yang terus bertentangan dengan nilai-nilai leluhur bangsa (Indra Siswarini, makala, 2006:16).
Pertanyannya, mampukah kita membangun bangsa di tengah-tengah globalisasi dalam arus yang semakin kuat ? jika jawabannya  “ya”, maka kita akan mampu  menjadi negara maju yang masih berjati diri Indonesia. Jika “tidak”, maka selamanya kita akan menjadi bangsa terjajah. Salah satu yang bisa menjawab “ya” adalah peran lembaga pendidikan untuk terus menggali ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi tanpa menghilangkan jati diri Indonesia melalui pelestarian nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah hakikat manusia sebagai mahkluk hidup ?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Globalisasi ?
3.      Bagaimanakah Globalisasi mempengaruhi kehidupan manusia ?
4.      Bagaimana cara manusia untuk menghadapi tantangan Globalisasi ?
5.       
C.     Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan memahami hakikat manusia
2.      Memahami apa itu globalisasi
3.      Mengetahui pengaruh globalisasi terhadap kehidupan manusia
4.      Dapat memecahkan masalah yang diakibatkan oleh globalisasi


BAB II
PEMBAHASAN
A.    HAKIKAT MANUSIA
Berbicara tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan mendasar tentang manusia, yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya jawaban-jawaban itu secara dialektis melahirkan pertanyaan baru, sehingga upaya pemahaman manusia masih merupkan pokok yang problematis. Dengan ungkapan lain, manusia masih merupakan misteri bagi dirinya sendiri. Informasi penting sekitar kemesterian manusia dapat dilihat dalam buku berjudul Manusia, Sebuah Misteri, karya dari Louis Leahy (1989).
Dalam beberapa sumber pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan tentang
manusia. Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan
dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat
demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas
binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya (der Weij, 1991: 7-8)
Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal,
menghadapi kesukaran dan sebagainya . Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri dan sebagainya. Dia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Lebih lanjut Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi,situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia menyejarah ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan animal educandum.
Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah
makhluk multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978: 3)
Berdasarkan fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni pola pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran teologis (lihat Basis Edisi Oktober 1980: 371-375). Penulis sendiri lebih memilih pola pemikiran yang keempat itu bukan pola pemikiran teologis, melainkan pola pemikiran religius. Hal ini didasarkan pada rumusan pengertian manusia sebagai homo religiosus. Sedangkan pola pemikiran biologis, psikologis dan sosial-budaya masih dapat dipertahankan.

1.      Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari
struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya. Menurut pola ini juga, bahwa manusia dipahami dari sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan sesamanya.
2.      Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh-tokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukum hukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Salah satu tokoh dari pandangan ini adalah Skinner (Depdikbud, 1984/1985: 1-3).
Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal). Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dengan desakan faktor eksternal. Buktinya, manusia dapat menolak iming-iming sesuatu yang menggiurkan dari pihak lain.
3.      Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.
Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer (1990:39-40) seorang filsuf kebudayaan abad 20. Dia merumuskan manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum tetapi bukan ciri khasnya (1990:.337). Begitu pula definisi manusia sebaai animal rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai untuk memahami bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya. Itulah mengapa dia menawarkan definisi manusia sebagai animal symbolicum yakni makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan symbol (1990: 40). Pada bagian lain Cassirer juga berpendapat bahwa ciri utama atau ciri khas manusia bukanlah kodrat fisik atau kodrat metafisiknya, melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem-sistem kegiatan manusiawilah yang menentukan dan membatasi dunia.
4.       Manusia menurut pola pemikiran Religius
Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo religiosus. Salah satu tokohnya adalah Mircea Eliade. Pandangan Eliade dapat dilihat pada tulisan Mangunhardjono dalam buku Manusia Multi Dimensional: Sebuah renungan filsafat,1982:38). Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja. Menurut Soerjanto Poespowardojo sebagaimana dimuat dalam Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia (1978: 3) bahwa untuk memahami manusia bukan dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya. Dengan membuka lingkup yang sewajarnya, seharusnya kita melihat manusia sebagai makhluk alamiah, “naturwesen’ yang merupakan bagian dari alam dan oleh karena itu memiliki sifat-sifat dan tunduk kepada hukum yang alamiah pula. Sebagai makhluk alamiah, maka manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Ia membutuhkan makanan agar badannya tetap segar dan sehat. Ia membutuhkan hiburan agar hidupnya menarik dan tidak membosankan. Ia pun perlu belajar dsb. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh hal-hal yang fisik dan rohani. Adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai, artinya untuk memenuhi segala kebutuhannya ia harus bekerja dan berkarya. Jelaslah di sini bahwa kerja dan berkarya mempunyai arti yang manusiawi. Dalam kerjalah tercermin mutu serta martabat manusia.

B.     PENGERTISN GLOBALISASI
                                    Globalisasi adalah sebuah istilah yang dikenalkan pertama kali oleh wartawan Theodore Levitt pada tahun 1980-an. Istilah tersebut sampai sekarang masih terus diperdebatkan di kalangan akademisi dan dunia pemerintahan, baik nasional maupun internasional. Saya mengenal pemikiran tentang globalisasi pertama kali dari buku “Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Glibalisasi” karya DR Mansour Fakih. Buku tersebut menuntun saya memahami glibalisasi dengan perspektif dunia ketiga, dalam hal ini Indonesia. Menurut Fakih, yang nanti akan kita bahas berbagai pandangan yang berbeda, pada dasarnya globalisasi terjadi ketika ditetapkannya formasi social global baru dengan ditandai diberlakukannya secara global suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan free trade ( pasar bebas ), yakni berhasil ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang perdagangan pada bulan April tahun 1994 setelah melalui proses yang sulit, di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement Tariff an Trade (GATT). Bagi Fakih, globalisasi merupakan fase ketiga sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia lain, yang diperkirakan telah berusia lima ratus tahun. Menurutnya, fase pertama adalah priode kolonialisme dan fase kedua dikenal dengan sebagai era pembangunan atau era developmentalisme.
                                    Proses globalisasi menurut Fakih ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka atau menggelobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideology dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global.
                                    Glibalisasi muncul bersamaan dan menjadi bagian  runtuhnya pembangunan di Asia Timur. Era baru bernama globalisasi tersebut meyakinkan rakyat miskin dunia ketiga seolah-olah merupakan arah baru yang menjanjikan harapan kebaikan bagi umat manusia dan menjadi keharusan sejarah manusia di masa depan. Namun, globalisasi melahirkan kecemasan bagi mereka yang memikirkan permasalahn sekitar pemiskinan rakyat dan merjinalisasi rakyat, serta keadilan social. Bersamaan dengan itu, fenomena yang juga berkembang secara pesat dan global berakibat pada semakin meningkatnya kemajuan di bidang telekomunikasi, elektronika, serta bioteknologi yang dikuasai oleh perusahaan transnasional. Sementara itu, di pihak lain dunia juga masih menghadapi krisi hutang dan krisis over-produksi warisan pembangunan tahun 1980-an, serta warisan dampak negative dan kampanye internasional yang dulu dikumandangkan oleh The Bretton Woods Institusions tentang model pembangunan ekonomi “pertumbuhan”.
                                    Kendati ada berbagai versi teori globalisasi, terdapat kecendrungan di hampir semua teori tersebut untuk menjaga jarak dramatis dari focus di Barat dan menelaah tidak hanya proses-proses transnasional yang mengalir ke berbagai penjuru, namun juga pada batas-batas tertentu, yang otonom dan independen dari bangsa atau wilayah perang (Appadurai,1996). Menurut George Ritzer, globalisasi dapat dianalisis secara budaya, ekonomis, politis, dan/atau institusional. Pada masing-masing kasus, perbedaan utamanya adalah apakah orang melihat semakin besarnya homogenitas atau heterogenitas.
                                    Kecendrungan ke arah homogenitas sering kali di asosiasikan dengan imperialisme budaya, atau dengan kata lain, meningkatnya pengaruh internasional dari kebudayaan tertentu. Ada berbagai imperialisme budaya termasuk yang menekankan peran kebudayaan Amerika (Kuisel,1993;Ritzer, 1995,2000), Barat (Giddens,1990), atau Negara-negara inti (Hannerz, 1990). Namun Robertson (1992) menentang gagasan ini, meskipun ia tidak menggunakan istilah inperialisme budaya, melalui konsepnya yang terkenal dengan istilah glokalisasi. Konsep glokalisasi ini melihat yang global berinteraksi dengan yang lokal untuk menghasilkan sesuatu yang kas sifatnya yaitu glokal. Pandangan yang menegaskan heterogenitas budaya seperti itu tidak hanya dari Robertson, beberapa orang lain menegaskan halyang sama termasuk Garcia Canclini (1995) dan Pieterse (1995). Yang dalam kategori umum ini adalah karya sarjana seperti Friedman (1994), yang menggambarkan duia yang dirincikan oleh pastiche budaya.
                                    Pemikiran ilmu social yang memusatkan perhatian pada faktor-faktor ekonomi, seperti DR Mansour Fakih di atas, cenderung menitikberatkan faktor ekonomi dan efek homogenisasi faktor-faktor tersebut bagi dunia. Pada umumnya mereka melihat globalisasi sebagai menyebarkan ekonomi pasar ke berbagai kawasan dunia. Contoh lain pemikiran social jenis ini adalah George Stiglitz, ekonom pemenang hadiah Nobel dan mantan ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Amerika Serikat pada Bil Cliton, mengemukakan kritik tajam terhadap Bank Dunia, WTO, dan khususnya IMF karena peran mereka dalam memperburuk, ketimbangan memperbaiki, krisi ekonomi global.
                                    Stiglitz memberi argument yang meyakinkan akan pentingnya reformasi lembaga-lembaga dunia PBB, IMF, dan Bank Dunia, juga perjanjian-perjanjian perdagangan internasional dan peraturan tentang kekayaan intelektual supaya lembaga-lembaga itu benar-benar mampu menjawab permasalahan masa kini. Stiglitz  mengecam IMF dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya yang tidak sungguh-sungguh berupaya untuk membantu negara-negara miskin agar bisa keluar dari masalahnya dan sealiknya hanya menawarkan solusi “satu untuk semua” yang terbukti gagal menyelesaikan masalah-masalah spesifik dari negara-negara miskin tersebut.
Bentuk heterogenitas lain pada ranah ekonomi anatara lain komodifikasi budaya lokal dan adanya spesialisasi yang fleksibel sehingga memungkinkan dihasilkannya beragam produk yang bisa memenuhi kebutuhan bermacam spesifikai lokal. Lebih umu lagi, mereka yang menekankan heterogenesasi beragumen bahwa interaksi pasar global dengan pasar lokal menyebabkan terciptanya pasar lokal unik yang menginteraksikan permintaan pasar global dengan realitas pasar lokal.
                                    Sekali lagi, teori globalisasi sangat dipengaruhi oleh pemikiran mengenai homogenisasi dan teregogenisasi. Hal tersebut akan semakin tampak dalam pembahasan-pembahasan berikut yang akan dikelompokkan menjadi empat bagian. Pertama, kita akan diajak melihat berbagai sudut pandang tentang globalisasi yang berasal dari berbagai macam pemikiran (Kellner, Giddens, Back, dan Bauman). Selanjutnya, kita diarahkan untuk masuk pada tiga kategori besar dalam perumusan teori berkaitan dengan globalisasi, yaitu: cultural, ekonomi, dan politik/institusional.
1.        BEBERAPA TEORITIS DALAM GLOBALISASI
a.       Perspektif Marxian Globalisasi oleh Douglas Kellner
Teori Kellner didasarkan atas premis bahwa kita belum bergegas ke zaman postmodern atau postindustri, akan tetapi kapitalisme masih jadi rezim tertinggi. Ia menyebut kapitalisme yang mutakhir ini dengan istilah tekno-kapitalisme. Kellner mendefinisikan tekno-kapitalisme sebagai konfigurasi masyarakat kapitalis dimana pengetahuan teknis dan ilmiah, automasi, computer dan teknologi maju memainkan peran dalam proses produksi yang parallel dengan peran tenaga kerja manusia, mekanisasi dan mesin pada era kapitalisme sebelumya, sambil memproduksi cara baru untuk menata masyarakat dan bentuk kebudayaan serta kehidupan sehari-hari.
            Kellner selanjutnya mengalihkan perhatiannya pada bentuk globalisasi dan lebih umum lagi, orientasi kritis dan neo-Marxian. Dalam pandangan Kellner, kunci untuk memahami globalisasi adalah dengan meneorikannya sebagai produk revolusi teknologi sekaligus sebagai produk restrukturisasi global atas kapitalisme. Namun, perubahan-perubahan ini terkait erat dengan faktor-faktor politik dan social. Jadi, kita harus melihat hubungan dialektis antara teknologi, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Tentu saja, iniberarti tidak hanay menyesuaikan diri dengan hubungan antar mereka namun juga dengan konflik, kontradiksi, dan ambiguitas mereka.
            Perspektif dialektis juga menjelaskan bahwa terdapat cirri-ciri progresif dan emansipatoris globalisasi dan bahwa orang harus berbicara tentang keduanya. Faktor pemisah utama, sekali lagi dengan perspektif dialektis, adalah perbedaan antara globalisasi yang dipaksakan dari atas dengan yang tumbuh dari bawah. Yang kedua ini adalah akibat dari kontestasi dan rekonfigurasi hal-hal yang diterapkan pada tingkat masyarakat yang lebih rendah. Demokrasi bisa berasal dari bawah, dan pada taraf global hal ini bertentangan dengan kekuatan otoriter dari atas.
            Bagi Kellner, globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan serangkaian relasi social dan aliran komoditas, modal, teknologi, gagasan, bentuk kebudayaan, dan orang-orang di seluruh batas-batas nasional melalui masyarakat jaringan global. Baginya, transmutasi teknologi dan modal bekerja sama menciptakan dunia global dan terkait satu sama lain. Revolusi teknologi yang melibatkan penciptaan jaringan komunikasi, transportasi, dan pertukaran yang terkomputerisasi adalah prasyarat ekonomi global, bersama dengan perluasan system pasar kapitalis dunia yang semakin menyerap wilayah dunia dan ranah produksi, pertukaran dan konsumsi ke dalam orbitnya.
            Tekno-sains menyusun infrastruktur globalisasi tatkala ekonomi kapitalis menjadi sentral dari gagasan globalisasi. Jadi,inti globalisasi ialah terletak pada hubungan dialektis antara tekno sains dengan ekonomi yang dipandangnya sebagai pemikiran dominan tentang globalisasi.
            Perspektif dialektis Kellner tampak menarik dalam pemikirannya tentang Internet. Di satu sisi teknologi internet digunakan dengan berbagai cara untuk mendorong berlangsungnya globalisasi kapitalis, namun disisi lain internet juga digunakan untuk memobilisasi mereka yang menentang globalisasi. Dengan demikian dalam pandang Kellner, meskipun potensi demokrasi di internet lebih terasa sebagai khayalan, namun paling tidak hal ini menjadikan globalisasi sebagai lading kontestasi.
b.      Giddens tentang “Perputaran Dunia” dalam Globalisasi
Pembahasan tentang globalisasi yang dilakukan Giddens banyakditemukan dalam bukunya “konsekuensi-konsekuensi modernitas”. Globasasi memiliki efek yang cukup besar pada isu-isu yang menjadi pokok perhatian Giddens. Selain itu, dalambukunya tersebut disebutkan adanya kaitan erat antara globalisasi dan risiko, khususnya kelahiran dari apa yang disebutnya sebagai risiko yang diproduksi secara mekanis.
Ada empat dimensi menurut Giddens yang bisa kita gunakan mengenali hakikat globalisasi. dimensi globalisasi yang pertama adalah ekonomi kapitalis dunia. Selanjutnya dimensi yang kedua adalah sistem negara bangsa, dandimensi yang ketiga adalah tatanan militer. Terakhir atau yang keempat dari dimensi globalisasi adalah pembagian kerja internasional.
Giddens melihat globalisasi sebagai proses dua arah,diamana terjadi proses saling mempengaruhi. Meskipun Giddens menegaskan peran Barat pada umumnya dan Amerika Serikat pada Khususnya dalam globalisasi, namun Amerika dan Barat juga diengaruhi dalam globalisasi. Bahkan menurutnya globalisasi semakin terdesentralisasikan sehingga bangsa-bangsa diluar Barat memainkan peran semakin besar didalamnya.  Muncul bentuk-bentuk saling ketergantungan global dan kesadaran lingkungan yang mengatasi isu-isunya tentu akan melibatkan sejumlah konsepsi dan strategi yang berasal dari setting non-Barat.
Dalam pandangan Giddens, di satu sisi globalisasi itu melemahkan kebudayaan lokal, namun disisi lain ( bisa juga justru) membantu membangkitkannya. Ia mengemukakan pandangan inovatif bahwa globalisasi “menekan ke samping”, menghasilkan wilayah-wilayah baru yang mungkin melintasi bangsa. Ia menawarkan contoh kawasan di sekitar Barcelona di Spanyol Utara yang membentang hingga ke Prancis.
Dalam bukunya Runway World (2001), Anthony Giddens menyebutkan bahwa perbenturan yang kini terjadi pada level global berlangsung antara fundamentalisme dengan kosmopolitanisme. Pada akhirnya, Giddens melihat munculnya “masalah kosmopolitan global yang muncul tersebut tetap merupakan produk globalisasi. Terlebih lagi, fundamentalisme menggunakan kekuatan-kekuatan global (misalnya, media massa) untuk mencapai tujuan-tujuannya. Fundamentalisme bisa memiliki baragam bentuk-agama, etnis, nasionalis, politik- namun apapun bentuknya, Giddens menganggap “benar kalau kita memandang fundamentalisme sebagai problematika, karenadia berujung pada kemungkinan terjadinya kekerasan, dan ia menjadi musuh nilai-nilai kosmopolitan”.
c.       Ultrich Beck, Politik Globalisasi, dan Kosmopolitanisme
Menurutnya Ritzer, kita dapat memahami esensi pemikiran Beck tentang isu politik globalisasi dan kosmopolitanisme dengan mendiskusikan pembedaan yang dilakukan terhadap globalisasi, globalitas dan globalisasi. Globalisasi adalah pandangan bahwa dunia ini didominasi oleh ekonomi dan bahwa kita tengah menyaksikan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologineoliberal yang mendukungnya. Kendati mengkritik globalisme, menurut Ritzer, Beck melihat adanya sejumlah nilai lebih dalam gagasan globalitas, dimana ruang-ruang tertutup, khususnya yang disosialisasikan dengan bangsa, semakin menjadi ilusi. Mereka menjadi ilusi karena globalisasi, atau “proses ketika negara-negara bangsa yang berdaulat dikotak-kotakkan dan digerogoti oleh aktor-aktor transnasional dengan beragam harapan pada kekuasaan, orientasi, identitas, dan jaringan” (Beck, 2000: 11). Proses-proses transnasional ini bukan semata-mata bersifat ekonomis, tapi juga melibatkan masalah ekologi, kebudayaan, politik, dan masyarakat sipil (civil society). Proses-Proses transnasional ini melewati batas-batas bangsa, mendorongnya untuk terus meluber, kalaupun tidak menjadi sesuatu yang tak relevan: “Globalitas berarti bahwa mulai dari  sekarang, tidak ada lagi  kejadian-kejadian di atas planet kita ini yang akan jadi kejadian lokal semata; semua penemuan,  kemenangan maupun kekacauan pasti memengaruhi seluruh dunia” (Beck, 2000: 11).
Kendati proses transnasional telah lama berlangsung, globalitas adalah telah lama berlangsung, globalitas adalah sesuatu yang baru paling tidak karena tiga alasan. Pertama, pengaruhnya menjangkau ruang geografis yang jauh lebih besar. Kedua, pengaruhnya menjangkau waktu yang jauh lebih besar bagi “jaringan tansnasional, hubungan dan aliran jaringan” (Beck, 2000:12). beck juga mendaftar sejumlah hal lain yang menjadi ciri khas globalitas ketika dibandingkan dengan manifestasi transnasionalitas sebelumnya (Beck, 2000: 13):
1.      Kehidupan dan interaksi sehari-hari ang melintasi batas-batas negara banyak dipengaruhi.
2.      terdapat persepsi diri yang bersifat transnasional di ranah-ranah seperti media massa, konsumsi, dan pariwisata
3.      Komunitas, tenaga kerja dan modal semakin tidak terikat tempat.
4.      Meningkatkan kepedulian terhadap bahaya ekologi global dan tindakan yang diambil untuk mengatasinya.
5.      Meningkatkan persepsi tentang yang lain transkultural dalam kehidupan kita.
6.      Industri kebudayaan global yang bergerak pada level yang terkirakan sebelumnya.meningkatnya “jumlah dan kekuasaan aktor, institusi, dan kesepakatan transanasional.
d.      Zygmunt Bauman tentang Konsekuensi – Konsekuensi Globalisasi terhadap Manusia
Sebagaimana dikatakan Ritzer, Bauman (1998) melihat globalisasi sebagai “space war” atau perang ruang angkasa. Menurut pandangannya, “mobilitas menjadi faktor stratifikasi paling kuat dan paling didambakan didunia saat ini (Bauman, 1998 : 9). Jadi, para pemenang perang ruang angkasa adalah mereka yang mobile, mampu bergerak secara bebas ke seluruh dunia dan dalam proses menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Mereka dapat mengapung relative bebadi ruang angkasa, dan ketika mereka harus “mendarat” di suatu tempat, mereka mengisolasi diri di ruang yang terhalang tembok dan diawasi dimana mereka bisa aman dari para pecundang dalam perang tersebut. Para pecundang tidak hanya tidak memiliki mobilitas namun juga terpisah dan dibatasi oleh teritori yang tidak memiliki makna dan bahkan tidak memiliki kemampuan menawarkan makna. Seperti dikemukankan Bauman (1998 : 23), “Jika ekstrateritorialitas elite merasa  telah meracuni kebebasan, teritorialitas lain merasa seperti berada di halaman rumah, dan bahkan ebih seperti dipenjara – yang jauh lebih  menghinakan bagi pemahaaman orang atas ‘kebebasanuntuk bergerak.” Akibatnya, teritori menjadi lading pertempuran tempat pemenang dan pecundang perang ruang angkasa tersebut berhadapan dalam konfik yang tidak seimbang.
Para pemenang dapat dikatakan hidup dalam waktu ketimbang dalam ruang. Jadi, “ruang tidak menjadi persoalan bagi mereka. Mereka mampu untuk hampir – hampir menjangkau setiap ruang dengan cepat, untu tidak mengatakan secara instan.” Sebaiknya, para pecundang “hidup didialam ruang Berat, lentur, tak tersentuh, yang mengikat waktu, dan menjaganya agar tetap berada di luar kendali penghuninya” (Bauman, 1998 : 88). Namun, penting membedakan mereka yang paling tidak memiliki keleluasaan bergerak. Wisatawan adalah mereka yang sedang berpindah karena merka menginginkannya.Mereka tertarik oleh sesuatu, mengganggapnya tak dapat dilawan, dan bergerak kearahnya. Selanjutnya terdapat gelandangan, yang berpindah karena mereka beranggapan lingkungan mereka tidak bisa dipertahankan lagi, tidak ramah karena berbagai alasan. Bauman (1998 : 93) mengemukakan perbedaan ini dalam konteks pokok perhatian kita disini : “Yang kini disebut dengan ‘globalisasi’bergerak kearah impian dan hasrat para wisatawan. Efek keduanya – efek samping, namun tak dapat dielakkan – adalah perubahan banyak orang menjadi geandangan.” Namun, kebanyakan orang berada di antara kedua kutub ekstrem tersebut dan “ tidak terlalu yakin dimana… mereka berada saat itu dan bahkan kurang yakin bahwa tempat mereka berada sekarnag maih ada di hari esok” (Bauman, 1998 : 97). Jadi, globalisasi berarti situasi sulit bagi kebanyakan orang.
C.     DAMPAK GLOBALISASI
1.      Bidang Ekonomi
Globalisasi di bidang ekonomi telah mendorong berkembangngnya pasar bebas. Pasar bebas atau liberalisasi akan menimbulkan masalah jika omoditas yang dihasilkan dari dalam negeri (pertanian dan industri) tidak mampu bersaing dengan komoditas yang berasal dari negara lain. Sehingga pasar domestik dibanjiri oleh produk dan komoditas yang berasal dari luar negeri (impor) yang pada akhirnya mengancan dan merugikan eksistensi pertanian dan industri dalam negeri.
Bagi negara yang memiliki infrastruktur ekonomi yang masih lemah, dimana industri dalam negeri belum siap menghadapi persaingan antar bangsa dan negara yang demikian bebas, maka industri dalam negeri besar kemungkinan akan mengalami ancaman serius dari terpaan produk industri asing. Globalisasi membuka peluang dan akses pasar yang lebih luas bagi produk-produk asing bagi konsumen dalam negeri. Industri dalam negeri menghadapi ancaman serius yang dapat mematikan gerak dan pertumbuhan industri nasional.


2.      Bidang Lingkungan
salah satu fenomena ancaman global di bidang lingkungan hidup adalah pemanasan global (global warming). Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.
Pemanasan global menimbulkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dan sebagainya).
Jadi, pemanasan global merupakan meningkatnya temperatur di planet bumi secara global, meliputi peningkatan temperatur atmosfir, temperatur laut dan temperatur daratan bumi yang menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap masa depan bumi termasuk manusia dan makhluk hidup lain. Dampak yang ditimbulkan cenderung mengancam eksistensi bumi, dan kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Semakin meningkatnya temperatur di permukaan bumi ternyata berkaitan dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia.
Beberapa jenis gas rumah kaca merupakan penyebab meningkatnya temperatur di planet bumi yang berasal dari aktivitas manusia sendiri. Artinya, aktivitas manusia merupakan kontributor terbesar bagi terbentuknya gas-gas rumah kaca, seperti pembakaran pada kendaraan bermotor/industri (pabrik-pabrik), dan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar fosil (bahan bakar minyak, batu bara dan sebagainya).

3.      Peradaban Manusia
Kebudayaan Nasional adalah kebudayaan kita bersama yakni kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita bangsa Indonesia. Kita sebagai warga negara Indonesia harus bangga akan kebudayaan Indonesia yang sangat melimpah. Karena Indonesia sangat kaya akan budaya dan juga bahasa yang begitu banyak. Hampir di setiap provinsi di Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri dan kebudayaan disuatu provinsi tersebut selalu berbeda dengan kebudayaan di provinsi lain. Kebudayaan Indonesia begitu beragam, mulai dari berbagai macam kesenian, bahasa, adat istiadat, pakaian adat, makanan khas dan berbagai macam tari-tarian dan lagu daerah.
Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya Indonesia. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya.
Masuknya budaya asing membuat rakyat Indonesia mulai menjauhi dan melupakan budaya negara. Sebagai contoh, masyarakat cenderung lebih memilih makanan di restoran cepat saji daripada di restoran biasa.
Dampak lain dari globalisasi terhadap peradaban manusia diantaranya masyarakat mengalami anomi/tidak punya norma atau heteronomy/ banyak norma, sehingga terjadi kompromisme sosial terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap melanggar norma tunggal masyarakat. Sebagai contoh, gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi nilai norma kesopanan pakaian yang cenderung tertutup kini telah berubah mengikuti perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar berpakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya berpakaian minim ini dianut dari film-film luar negeri yang ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia. Derasnya arus informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut menyumbang bagi perubahan.

D.    PERMASALAHAN
Keterpurukan petani dan  jeratan globalisasi
Meski dari waktu ke waktu produksi pangan di Indonesia terus meningkat, ironisnya pendataan rill petani sebagai penghasil pangan tersebut meningkat. Akibatnya, nasip petani kian terpuruk. Hal disebabkan makin berkurang atau hilangnya lahan pertanian dari tangan petani, antara lain karena derasnya alih fungsi lahan khususnya dari sawah ke lahan nonpertanian. Sebab lain ialah maraknya pemilihan lahan pertanian oleh orang kota (kompas 26/4/2010).
Semua itu tak terlepas dari pengaruh tidak dituntaskan permasalahan pokok petani, serta masih kurangnya ketrampilan terhadap petani guna melindungi meraka dari jeratan ekonomi global.

Jeratan Globalisasi 
Keterpurukan petani juga disebabkan karena kurangnya keberpihakan pemerintah. Hal ini sungguh berbeda dengan nasip petani di negara-negara maju, petani di Uni-Eropa dan Amerika Serikat, misalnya hanya berjumlah 5-7% dari total populasi, tetapi mereka menerima subsidi lebih besar dari 50% anggaran pemerintah (Iswantoro, 2003).
Sebaliknya, di Indonesia jumlah petani lebih dari 50% jumlah penduduk. Mereka memiliki konstribusi tinggi pada penyediaan pangan nasional serta penyerapan tenaga kerja. Sayangnya, keberpihakan pemerintah terhadap petani sangat kurang. Seiap musim tanam padi, pupuk dan peptisida kerap kali langka dan harganya melambung, tetapi harga gabah/padi petani rendah.
Ditambah lagi, dalam kondisi dililit kemiskinan dan tanpa subsidi dari pemerintah, petani gurem dibiarkan  harus berkompetisi dengan negara lain yang ekonominya telah maju. Contohnya, mengimpor beras dari negara lain tanpa mekanisme tarif yang layak karena memdukung ekonomi pasar yang dipaksakan oleh kaum kapitalis dengan semangat globalisasi.


E.     SOLUSI
Permasalahannya siapkah kita menghadapi persaingan dengan negara lain yang dalam banyak hal lebih siap, seperti dari sumber daya manusianya, ilmu pengetahuan dan teknologinya, serta modalnya? Jika tidak mampu, maka kita akan kalah dalam persaingan global tersebut. Soedjatmoko (1991:97) menggambarkan sifat-sifat dan kemampuan yang harus dimiliki manusia Indonesia di masa mendatang sebagai berikut.
a.       Orang harus serba tahu (well informed), dan harus selalu menyadari bahwa proses belajar tidak akan pernah selesai di dalam dunia yang terus berubah secara sangat cepat. Dia harus mampu mencerna informasi yang banyak tapi tuntas, itu artinya  harus mempunyai kemampuan analisis yang tajam, mampu berpikir integratif serta dapat bereaksi cepat.
b.       Orang harus kreatif dalam memberikan jawaban terhadap tantangan baru, serta mempunyai kemampuan mengantisipasi setiap perkembangan.
c.        Mempunyai kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial. Peka terhadap batas-batas toleransi masyarakat serta terhadap perubahan sosial dan ketidakadilan.
d.       Memiliki harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri berdasarkan iman yang kuat.
e.        Sanggup mengidentifikasi dimensi-dimensi moral dan etis dalam perubahan sosial dan pilihan teknologi. Selanjutnya juga sanggup menginterpretasikan ketentuanketentuan agama sehingga terungkaplah relevansinya dalam pemecahan masalah dan perkembangan-perkembangan baru.

Sebagai perbandingan Ulrih Teicher (1997:540 mengemukakan bahwa manusia masa depan harus mempunyai persyaratan kualitas dan kemampuan sebagai berikut.
a.       Fleksibel.
b.      Mampu dan bersedia untuk berpartisipasi dalam inovasi serta menjadi kreatif.
c.       Mampu menguasai hal-hal yang tidak menentu atau seringkali berubah-ubah.
d.      Tertarik dan siap belajar seumur hidup.
e.       Memiliki kepekaan sosial dan keterampilan berkomunikasi.
f.       Mampu bekerja dalam tim.
g.      Mampu mengambil tanggung jawab yang diserahkan padanya.
h.      Mampu menyiapkan diri untuk melakukan internasionalisasi pasaran kerja melalui pengertiannya tentang macam-macam budaya.
i.        Cakap dalam bebagai hal, baik keterampilan umum, maupun keterampilan profesional. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia Indonesia yang ideal adalah manusia yang mampu menghadapi tantangan masa depan yang semakin rumit dan tidak menentu. Mereka itu adalah yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut.
a)      Mampu meningkatkan produktivitas kerja.
b)      Memiliki kemampuan berpikir kreatif dan analitis.
c)       Memiliki ilmu dasar yang luas serta keterampilan kerja yang tinggi.
d)     Kesiapan untuk belajar sepanjang hidup agar dapat meningkatkan kemampuannya secara berkelanjutan.
e)      Fleksibel dan adaptif, yang keduanya digunakan untuk menghadapi berbagai perubahan yang sangat cepat.
f)        Memiliki moralitas yang baik, yang bersumber pada agama yang diyakini.
Menghadapi globalisasi yang memiliki dampak positif dan negatif, dibutuhkan komitmen terhadap prinsip-prinsip moral yang semakin kuat. Diyakini pula bahwa pendidikan berada di garis depan untuk mewujudkannya.



































BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Manusia, dalam berbagai perspektif, merupakan makhluk individu sekaligus juga memiliki peranannya sebagai makhluk social. Hal ini memberi makna bahwa, manusia membutuhkan interaksi dengan  lingkungan dan sesamanya dalam pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan kelompok bersama maupun kebutuhan pribadi. Adapun globalisasi merupakan suatu proses perkembangan dunia yang tidak dapat dihindarkan. Dunia diibaratkan sebagai satu rumah dimana manusia terhubungan antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan besar. Manusia, dalam era globalisasi tidak dapat terhindar dari arus kompleksitas perubahan dalam memenuhi kebutuhannnya. Sehingga, suka atau tidak manusia harus mengikuti perubahan tersebut. Dalam derasnya arus globalisasi tersebut, ada banyaks dampak yang ditimbulkan, baik dari segi positif maupun negatif. Globalisasi dikatakan membawa dampak positif, apabila perubahan – perubahan dalam globalisasi tersebut dapat memajukan taraf hidup dan peradaban manusia. Sedangkan Globalisasi dikatakan membawa dampak negative apabila manusia tidak mampu memfilter dan mengembangkan diri dan potensinya untuk mnghadapi tantangan globalisasi bagi manusia. Sehingga, manusia dituntut untuk pandai – pandai menyikapi perubahan – perubahan dalam globalisasi.

2.      Saran
Semoga Indonesia dapat menghadapi tantangan baru dalam memasuki era globalisasi. dimana proses mendunia dengan tingkat perubahan yang cepat dan radikal di berbagai aspek kehidupan manusia.sehingga  kita tidak lagi merasa dunia semakin menyusut, dengan kecanggihan teknologi kita tidak tersekat lagi oleh ruang dan waktu. Dengan teknologi kita bisa berkomunikasi dengan siapa saja dan kapan saja dan dimana saja. Tetapi dibalik kecanggihan dan perubahan yang terjadi dapat menimbulkan ketimpangan jika kita tidak siap dengan adanya perubahan sehingga bisa terjadi ketimpangan budaya yang tentunya akan merugikan kita. Untuk itu kita harus siap menghadapi perubahan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Djaya, Kusuma. 2012. Teori-teori Modernitas dan Globalisasi. Bantul: Kreasi Wacana.
der Wij, P.A., van. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentangs Manusia. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
          Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984/1985. Materi Dasar Pendidikan Program
Akta Mengajar V. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud.
Drijarkara, N. 1969. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Penerbit Jajasan Kanisius.
Iskandar, Johan. 2014. Manusia dan Lingkungan dengan Berbagai Perubahannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lauer, H.Robert. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Setiadi, Elly, dkk. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Susanto, Sunario. 1992. Globalisasi dan Komunikasi. Jakarta: Pustaka Sinar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar